LANDASAN
TEORI
A. MEDIS
1.
Pengertian
Fraktur adalah
terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya (Brunner
& Suddarth, 2002).
Faktur adalah terputusnya suatu
hubungan kontinuitas dari jaringan tulang (Depkes RI, 1991).
Femur
merupakan tulang terpanjang dan terbesar di dalam tulang kerangka pada bgian
pangkal yang berhubungan dengan asetabolum membentuk kepala sendi yang disebut
kaput femoris.(Syaifudin, Anatomi fisiologi, edisi I, 1995)
Fraktur
femur adalah terputusnya hubungan kontinuitas di jaringan tulang pada bagian
pangkal yang berhubungan dengan asetabolum membentuk kepala sandi yang disebut
kaput femoris.
Fraktur dapat dikelompokkan
berdasarkan beberapa hal, yaitu :
Menurut Kuliah Bidan (2008) fraktur
dapat diklelompokkan :
a.
Berdasarkan garis patah terhadap korteks
1)
Fraktur komplit
Garis patahan melalui seluruh penampang
tulang atau melalui kedua kortek tulang.
2)
Fraktur tidak komplit
Garis patah tidak melalui seluruh
penampang tulang, seperti hairline
fracture (patah retak rambut), buckle
fracture atau toruse fracture
terjadi lipatan dari satu korteks dengan kompresi tulang spongiosa dibawahnya, greenstick fracture mengenai satu
korteks dengan angulasi korteks lainnya pada patah tulang panjang anak.
b.
Berdasarkan arah garis patah
1)
Garis patah melintang (transverse)
Suatu fraktur komplit yang garis
patahnya tegak lurus terhadap sumbu tulang.
2)
Garis patah miring (obliq)
Fraktur
komplit yang melalui korteks secara diagonal
3)
Garis patah spiral
Bila
garis patah terdapat mengelilingi sepanjang korteks
4)
Garis patah kompresi
Pada
vertebra akibat tumbukan keras
5)
Fraktur avulse
Akibat
tarikan otot pada insersinya di tulang.
c.
Berdasarkan jumlah garis patah
1)
Fraktur sederhana (simple)
Hanya
terdapat satu garis patah
2)
Fraktur komunitif
Garis
patah lebih dari satu dan saling berhubungan
3)
Fraktur Segmental
Garis
patah lebih dari satu, tetapi tidak berhubungan
4)
Fraktur Multiple
Garis
patah lebih dari satu, tetapi terdapat pada tulang yang berlainan tempatnya
d.
Berdasarkan hubungan antar fragmen
1)
Fraktur undisplaced
Garis
patah komplit tetapi kedua fragmen tidak bergeser
2)
Fraktur displaced
Terjadi
pergeseran fragmen tulang
e.
Berdasarkan hubungan dengan dunia luar
1)
Fraktur tertutup
Bila
tidak ada luka yang menghubungkan fraktur dengan udara luar atau permukaan
kulit
2)
Fraktur terbuka
Bila
terdapat luka yang menghubungkan tulang yang fraktur dengan udara luar atau
permukaan kulit.
Fraktur Terbuka
Klasifikasi fraktur
terbuka menurut R.Gustillo :
a.
Derajat I
Luka
kurang dari 1 cm, kerusakan jaringan lunak sedikit (tidak ada tanda remuk),
fraktur sederhana/transversal/obliq/komunitif ringan dan kontaminasi ringan.
b.
Derajat II
Luka
lebih dari 1 cm, kerusakan jaringan lunak tidak luas, fraktur komunitif sedang,
kontaminasi sedang.
c.
Derajat III
Terjadi
kerusakan jaringan yang luas, meliputi struktur kulit, otot, neurovaskuler,
serta kontaminasi derajat tinggi.
2.
Anatomi Fisisologi ( syaifuddin, 1997 :
27-29 )
Tulang
femur merupakan tulang pipa terpanjang dan terbesar, didalam tulang kerangka
pada bagian pangkal yang berhubungan dengan acetabulum, membentuk kepala sendi
yang disebut caput femoris .
Disebelah atas dan
bawah dari kolumna femoris terdeapat taju yang disebut trokanter mayotr dan
minor. Dibagian ujung membentuk persendian lutut, terdapat dua buah tonjolan
yang disebut kondilus medialis dan kondilus lateralis. Diantara kedua kondilus tersebut terdapat lekukan
tempat tulang tempurung lutut ( patella ) yang disebut dengan fossa kondilus
. Os tibialis dan os fibularis
merupakan tulang pipa yang terbasar , sesudah tulang paha yang membentuk
persendian lutut dengan os femur, pada
bagian ujungnya terdapat tonjolan yang disebut os meleolus lateralis ( mata
kaki luar ) . Os tibialis bentuknya lebih kecil , pada bagian pangkalnya melekat pada os fibula , pada bagian ujung
membentuk persendian dengan tulang pangkal kaki dan terdapat taju yang disebut
os maleolus medialis
3.
Etiologi
Menurut
Brunner & Sudddarth (2002) fraktur dapat disebabkan oleh karena :
a. Pukulan
langsung
b.Gaya meremuk
c. Gerakan
puntir mendadak
d.
Kontraksi otot eksterm
e. Fraktur
pathologic : keadaan penyakit menjadi lemah misalnya kanker/osteoporosis
4.
Patofisiologi
Menurut
Robbins & Kumar (2000) patofisiologi fraktur :
Daya
↓
Tulang
↓
Fraktur
↓
Jaringan
lunak ← Pembuluh darah → Serabut saraf dan sum-sum tulang


Luka Perdarahan Putus Reseptor nyeri



Hematom Hipovolemi Hilang sensori Nyeri
↓ ↓
Vasodilatasi
eksudasi Hipotensi
migrasi
leukosit
↓
Inflamasi
↓
Bengkak
↓
Menekan syaraf
↓
Nyeri
5.
Tanda dan Gejala
Menurut
Brunner & Sudddarth (2002) tanda dan gejala fraktur :
a.
Krepitasi pada daerah yang patah (bunyi
bila digerakkan)
b.
Deformity (perubahan bentuk)
c.
Nyeri
d.
Fungsiolaisa
e.
Bengkak
f.
Fungsi rontgent terlihat
1)
Bentu patah
2)
Posisi patah
g.
Perdarahan
6.
Komplikasi
Menurut
Depkes RI (1995) komplikasi dari fraktur adalah :
a.
Komplikasi awal setelah fraktur adalah
syok yang bisa berakibat fatal dalam beberapa jam setelah cidera
b.
Emboli lemak, yang dapat terjadi dalam
48 jam atau lebih
c.
Sindrom kompartemen yang berakibat
kehilangan fungsi ekstremitas permanen jika tidak ditangani segera
d.
Infeksi
e.
Tromboemboli (emboli paru) yang dapat
menyebabkan kematian beberapa minggu setelah cidera
f.
Koagulopati Intravaskuler Diseminata
(KID)
7.
Pemeriksaan Diagnostik
Menurut
Doenges (2000) pemeriksaan diagnostic yang dilakukan :
a.
Pemeriksaan Rontgen
Menentukan lokasi atau luasnya farktur
atau trauma
b.
Scan tulang, Tomograf, Scan CT/MRI
Memperlihatkan fraktur juga dapat
digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak
c.
Anteriogram
Dilakukan bila kerusakan vaskuler
dicurigai
d.
Hitung Darah Lengkap
Hematokrit mungkin meningkat
(hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau
organ jauh pada trauma multiple. Peningkatan jumlah sel darah putih adalah
respons stress normal setelah trauma.
e.
Kreatinin
Trauma otot meningkatkan beban kreatinin
untuk klirens ginjal
f.
Profil Koagulasi
Perubahan dapat terjadi pada kehilangan
darah, transfuse multiple atau cidera hati
8.
Penatalaksanaan Medik
Menurut
Depkes RI (1995) penatalaksanaan medic pada fraktur :
Penatalaksanaan
awal
Sebelum
dilakukan pengobatan definitive pada fraktur, maka diperlukan :
a. Pertolongan
pertama : yang penting dilakukan adalah dengan memperhatikan airway, breathing,
circulation, disability pada pasien. Kemudian menutup luka dengan verban yang
bersih dan imobilisasi fraktur pada anggota gerak yang terkena agar penderita
merasa nyaman dan mengurangi nyeri.
b.Penilaian klinis :
dinilai apakah luka itu luka tembus tulang, adakah trauma pembuluh darah/saraf
atau trauma alat-alat dalam lain.
c. Resusitasi
: kebanyakan penderita datang dengan fraktur multiple tiba di rumah sakit dengan
syok, sehingga diperlukan resusitasi sebelum diberikan terapi pada frakturnya
sendiri berupa pemberian transfuse darah dan cairan lainnya serta obat – obat
anti nyeri.
Prinsip
terapi fraktur :
a.
Reduksi
adalah pemulihan keselarasan anatomi bagi tulang fraktur.
Reposisi memerlukan pemulihan panjang serta koreksi deformitas angular dan
rotasional. Reposisi manipulative biasanya dapat dilakukan pada fraktur
ekstremitas distal (tangan, pergelangan tangan, kaki, tungkai), dimana spasme
otot tidak berlebihan. Traksi bisa diberikan dengan plester felt melekat diatas kulit atau dengan memasang pin
tranversa melaui tulang, distal terhadap fraktur. Reduksi terbuka biasanya
disertai oleh sejumlah bentuk fikasasi bentuk fiksasi interna dengan plat &
pin, batang atau sekrup. Ada dua jenis reposisi, yaitu reposisi tertutup dan
reposisi terbuka. Reposisi tertutup dilakukan pada fraktur dengan pemendekan,
angulasi atau displaced. Biasanya dilakukan dengan anestesi lokal dan pemberian
analgesik. Selanjutnya diimobilisasi dengan gips. Bila gagal maka lakukan
reposisi terbuka dikamar operasi dengan anestesi umum. Kontra indikasi reposisi
tertutup : jika dilakukan reposis namun tidak dapat dievaluasi, jika reposisi
sangat tidak mungkin dilakukan, jika fraktur terjadi karena kekuatan traksi,
misalnya displaced patellar fracture.
b.
Imobilisasi
Bila reposisi telah dicapai, maka diperlukan
imobilisasi tempat fraktur sampai timbul penyembuhan yang mencukupi. Kebanyakan
fraktur ekstremitas dapat diimobilisasi dengan dengan gips fiberglas atau
dengan brace yang tersedia secara komersial. Pemasangan gips yang tidak tepat
bisa menimbulkan tekanan kuIit, vascular, atau saraf. Semua pasien fraktur
diperiksa hari berikutnya untuk menilai neurology dan vascular.
Bila traksi digunakan untuk reduksi, maka traksi juga bertindak sebagai imobilisasi dengan ektremitas disokong di atas ranjang atau di atas bidai sampai reduksi tercapai. Kemudian traksi diteruskan sampai ada penyembuhan yang mencukupi, sehingga pasien dapat dipindahkan memakai gips/brace.
Bila traksi digunakan untuk reduksi, maka traksi juga bertindak sebagai imobilisasi dengan ektremitas disokong di atas ranjang atau di atas bidai sampai reduksi tercapai. Kemudian traksi diteruskan sampai ada penyembuhan yang mencukupi, sehingga pasien dapat dipindahkan memakai gips/brace.
c.
Rehabilitasi
Bila penyatuan tulang padat terjadi, maka
rehabilitasi terutama merupakan
masalah pemulihan jaringan lunak. Kapsula sendi, otot dan ligamentum berkontraksi membatasi gerakan sendi sewaktu gips/bidai dilepaskan. Dianjurkan terapi fisik untuk gerakan aktif dan pasif serta penguatan otot.
masalah pemulihan jaringan lunak. Kapsula sendi, otot dan ligamentum berkontraksi membatasi gerakan sendi sewaktu gips/bidai dilepaskan. Dianjurkan terapi fisik untuk gerakan aktif dan pasif serta penguatan otot.
Penatalaksanaan Terapi
Konservatif
a.
Proteksi
Misalnya dengan menggunakan mitella untuk fraktur
collum chirurgicum humeri dengan kedudukan baik.
b.
Imobilisasi luar tanpa reposisi
Dengan pemasangan gips atau bidai pada fraktur
inkomplit dan fraktur dengan kedeudukan baik
c.
Reposisi tertutup dan fikasasi dengan
gips
Dapat dilakukan dengan anestesi umum atau anestesi
local dengan menyuntikkan obat anestesi dalam hematom fraktur.
d.
Reposisi dengan traksi
Dilakukan pada patah tulang yang bila direposisi
secara manipulasi akan terdislokasi kembali kedalam gips, misalnya pada patah
tulang femur.
e.
Reposisi dengan cast/splint
Reposisi tertutup dilakukan pada fraktur dengan
disposisi, pemendekan atau terpuntir.
TRAKSI
Penyembuhan
fraktur bertujuan mengembalikan fungsi tulang yang patah dalam jangka waktu
sesingkat mungkin
Metode
Pemasangan traksi:
Traksi Manual
Tujuan
: Perbaikan dislokasi, Mengurangi fraktur, Pada keadaan Emergency.
Dilakukan
dengan menarik bagian tubuh.
Traksi Mekanik
Ada
dua macam, yaitu :
Traksi
Kulit
Dipasang
pada dasar sistem skeletal untuk struktur yang lain, misalnya: otot. Traksi
kulit terbatas
untuk
4 minggu dan beban < 5 kg.
Untuk
anak-anak waktu beban tersebut mencukupi untuk dipakai sebagai fraksi
definitif, bila tidak diteruskan dengan pemasangan gips.
Traksi
Skeletal
Merupakan
traksi definitif pada orang dewasa yang merupakan balanced traction. Dilakukan
untuk menyempurnakan luka operasi dengan kawat metal atau penjepit melalui
tulang/jaringan metal.
KEGUNAAN PEMASANGAN
TRAKSI
Traksi
yang dipasang pada leher, di tungkai, lengan atau panggul, kegunaannya :
·
Mengurangi
nyeri akibat spasme otot
·
Memperbaiki
dan mencegah deformitas
·
Immobilisasi
·
Difraksi
penyakit (dengan penekanan untuk nyeri
tulang sendi).
·
Mengencangkan
pada perlekatannya.
MACAM - MACAM TRAKSI
Traksi
Panggul
Disempurnakan
dengan pemasangan sebuah ikat pinggang di atas untuk mengikat puncak iliaka.
Traksi
Ekstension (Buck’s Extention)
Lebih
sederhana dari traksi kulit dengan menekan lurus satu kaki ke dua kaki.
Digunakan untuk immibilisasi tungkai lengan untuk waktu yang singkat atau untuk
mengurangi spasme otot.
Traksi
Cervikal
Digunakan
untuk menahan kepala extensi pada keseleo, kejang dan spasme. Traksi ini biasa
dipasang dengan halter kepala.
Traksi
Russell’s
Traksi
ini digunakan untuk frakstur batang femur. Kadang-kadang juga digunakan untuk
terapi nyeri punggung bagian bawah. Traksi kulit untuk skeletal yang biasa
digunakan.
Traksi
ini dibuat sebuah bagian depan dan atas untuk menekan kaki dengan pemasangan
vertikal pada lutut secara horisontal pada tibia atau fibula.
Traksi
khusus untuk anak-anak
Penderita
tidur terlentang 1-2 jam, di bawah
tuberositas tibia dibor dengan steinman pen, dipasang staples pada steiman pen.
Paha ditopang dengan thomas splint, sedang tungkai bawah ditopang atau Pearson attachment. Tarikan
dipertahankan sampai 2 minggu atau lebih, sampai tulangnya membentuk callus
yang cukup. Sementara itu otot-otot paha dapat dilatih secara aktif.
9.
Proses Penyembuhan Fraktur
Menurut Brunner &
Sudddarth (2002) tahapan penyembuhan fraktur terjadi dalam beberapa tahap :
a.
Fase hematoma
1)
Terjadi perdarahan disekitar patahan
tulang yang disebabkan terputusnya pembuluh darah pada tulang dan periost.
2)
Terbentu fibrin clot.
3)
Terjadi dalam detik.
b.
Fase Inflamation
1)
Dalam 8 jam sejak terjadinya fraktur
adalah masa reaksi inflamasi akut disertai adanya ploriferasi sel di bawah
periosteal dan canalis medularis.
2)
Akhir dari fragmen tulang dikelilingi
jaringan seluler yang menghubungkan dengan sisi fraktur.
3)
Clotted hematom perlahan diserap dan
terjadi pertumbuhan kapiler baru disekitar area.
4)
Dalam 1-2 minggu.
c.
Callus Formation
1)
Ploriferasi dari sel osteogenik dan
kondrogenik.
2)
Terjadi pembentukan tulang.
3)
Terdapat osteoclast, yang membuang
jaringan tulang yang mati.
4)
Peningkatan masa sel dengan tulang dan
kartilago imatur, terbentuk callus pada permukaan periostel dan endosteal.
5)
dalam minggu sampai bulan.
d.
Konsolidasi
1)
Berlanjutnya proses osteoclastic dan
osteoblastic dari tulang sampai terbentuk lamelar bone.
2)
Osteoblast membentuk trabekula yang
melekat pada tulang dan meluas ke pecahan tulang lainnya.
3)
Bagian yang patah dijembatani oleh
tulang yang padat.
4)
Dalam minggu sampai bulan.
e.
Remodelling
1)
Terbentuknya kontur tulang yang baru dan
utuh.
2)
Terjadi selama berbulan – bulan,
bertahun- tahu.
B. KEPERAWATAN
1.
Pengkajian Keperawatan
Menurut Doenges (2000)
pengkajian keperawatan pada klien fraktur :
a.
Aktivitas/Istirahat
Tanda : Keterbatasan/kehilangan fungsi
pada bagian yang terkena (mungkin segera fraktur itu sendiri, atau terjadi
secara sekunder, dari pembengkakan jaringan, nyeri)
b.
Sirkulasi
Tanda : Hipertensi (kadang – kadang
terlihata sebagai respons terhadap nyeri atau ansietas) atau hipotensi
(kehilangan darah) takikardia (respons stress, hipovolemia) penurunan/tak nadi
pada bagian distal yang cidera : pengisian kapiler lambat, pucat pada bagian
yang terkena. pembengkakan jaringan/massa hematoma pada sisi cidera.
c.
Neurosensori
Tanda : Deformitas local : angulasi
abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi (bunyi berderit) spasme otot, terlihat
kelemahan atau hilang fungsi.
Agitasi
(mungkin mungkin berhubungan dengan nyeri/ansietas/trauma lain)
Gejala : Hilang gerakan atau sensasi,
spasme otot
Kebas/kesemutan
(parestesis)
d.
Nyeri/Kenyamanan
Gejala :Nyeri berat tiba – tiba pada
saat cidera (Mungkin terlokalisasi pada area jaringan/kerusakan tulang : dapat
berkurang pada mobilisasi) tak ada nyeri akibat kerusakan saraf.
Spasme/kram
otot (setelah mobilisasi).
e.
Keamanan
Tanda : Laserasi kulit, avulse jaringan,
perdarahan, perubahan warna, pembengkakan local (dapat meningkat secara
bertahap atau tiba-tiba)
2.
Diagnosa Keperawatan
Menurut
Doenges (2000) diagnosa keperawatan pada klien fraktur :
a.
Nyeri akut berhubungan dengan spasme
otot, trauma fisik, gerakan fragmen tulang, oedem.
b.
Risiko tinggi terhadap trauma
berhubungan dengan fraktur.
c.
Risiko disfungsi neurovaskuler perifer
berhubungan dengan fraktur, hipovolemik, penurunan/interupsi aliran darah.
d.
Risisko infeksi berhubungan dengan
trauma, cedera, prosedur invasive, traksi tulang.
e.
Risiko tinggi terhadap kerusakan
pertukaran gas berhubungan dengan perubahan aliran darah/emboli lemak,
perubahan membrane/kapiler.
f.
Kerusakan mobilitas fisik berhubungan
dengan kerusakan rangka neuromuskuler